Vol. 15 No. 2, April (2019)

					View Vol. 15 No. 2, April (2019)

Pembaca yang budiman,

Limen edisi ini dimulai dengan artikel Hubungan antara Kasih dan Keadilan dalam Kehidupan Sosial menurut Reginaldo Pizzorni oleh Silvinus Soter Reyaan. Untuk bisa disebut sebagai tindakan cinta yang tulus, cinta harus memuat keadilan. Demikian pula, tindakan adil yang tulus menuntut cinta. Kita tidak dapat menyebutnya tindakan cinta yang tulus, jika keadilan hanya dipahami sebagai keharusan untuk memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Orang yang tulus ialah orang yang melayani demi kebaikan orang lain. Menghormati hak orang lain adalah awal dari cinta, dan cinta selalu dimulai dengan keadilan. Semakin kita mencintai seseorang semakin kita tergerak untuk bertindak adil.

            Artikel kedua berjudul Kemiskinan dari Perspektif Livelihood. Bernardus Renwarin memandang livelihood sebagai suatu perspektif pembangunan masyarakat pedesaan yang bercirikan pembangunan berke-lanjutan. Perspektif ini juga membahas aneka modal manusia dan strategi yang digunakan seseorang atau sekelompok orang untuk membangun kehidupan yang lebih baik secara berkelanjutan. Dengan modal yang dimiliki, seseorang atau sekelompok orang mengembangkan strategi copying, agar dapat keluar dari tekanan dan goncangan yang bisa membuatnya terpuruk dan jatuh miskin. Perspektif ini menganjurkan agar orang mengembangkan strategi copying secara berjejaring, memba-ngun livelihood-nya secara berkelanjutan melalui usaha ekonomi skala kecil agar terjadi diversifikasi, intensifikasi, dan ekstensifikasi. Berdasarkan praktik-praktik di berbagai belahan dunia, perspektif ini ternyata membantu orang kecil, khususnya keluarga-keluarga di pedesaan, sehingga mereka terhindar dari tekanan dan goncangan ekonomi.

            Artikel ketiga, Agama (Seolah) Tanpa Penganut. Anomali Moralitas dalam Kekerasan atas Nama Agama, ditulis oleh Fredy Sebho. Ia memba-has kekerasan atas nama agama yang banyak muncul akhir-akhir ini. Sumber problem adalah pendangkalan pemahaman. Bila kekerasan terjadi, kendati atas nama agama, stabilitas moral terjerumus dalam kebingungan dan menjadi amat rapuh, sebab di mana ada kekerasan, kebaikan menjadi buruk, dan sebaliknya. Risiko suram anomali moral ini adalah terbentuknya cara berpikir dan bersikap yang aneh dan bodoh dalam suatu kelompok sosial. Hal itu tampak ketika orang lain dilabeli sebagai kafir, terjadi pembakaran rumah-rumah ibadah, para pengikut agama lain diteror atau dibunuh. Terlebih lagi, tindakan demikian dipandang sebagai tindakan yang suci. Mereka yang berpikiran picik, radikal dan fanatik, memandang agamanya sebagai yang paling benar dibandingkan dengan agama-agama lain. Seharusnya perbedaan dalam iman menjadi dasar penting bagi dialog dan kerja sama. Bagaimana kekerasan atas nama agama dapat diminimalisir atau dihapuskan? Menurut penulis, jawabannya ialah pembentukan karakter atau cara baru dan otentik dalam menghidupi iman. Ada dua bentuk agama yang diusulkan di sini: suatu agama yang menjadi dan agama yang dewasa.

            Akhirnya, artikel Ekumene di Papua menutup edisi ini. Penulisnya, Konstantinus Bahang, menggambarkan permulaan perkembangan Gereja-gereja serta pembentukan wadah yang menyatukan Gereja-gereja tersebut. Disebutkan bahwa terdapat lebih dari 50 denominasi Gereja di Papua, yang terdiri dari Gereja Katolik, Gereja Reformasi, Gereja Kalvinis, Gereja Baptis, denominasi Evangelis, Pentakosta serta Adven Hari Ketujuh. Dalam suatu masyarakat yang semakin hibrid akibat globalisasi yang semakin meluas, gerakan ekumene merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, gerakan ekumene tampaknya rapuh sejak kebanyakan Gereja baru saja keluar dari Gereja tribal atau regional karena berhadapan dengan problem-problem sosial di Papua. Gerakan ini perlu dilandaskan pada teologi ekumene yang solid dan kemampuan mumpuni dalam mengolah keberagaman dalam orientasinya menuju kemanusiaan universal.       

Selamat membaca!!!!

Published: 2019-06-21