Vol. 19 No. 2/April (2023)

					View Vol. 19 No. 2/April (2023)

Pembaca budiman, limen edisi ini menyajikan lima naskah dengan beberapa perspektif. Ada dua artikel bertinjauan teologis, satu bertinjauan Alkitabiah, dan dua tulisan tentang pendidikan.
Pertama, artikel Fransiskus Guna tentang pemikiran Thomas Aquinas. Menurut Guna, Aquinas mewarisi gagasan filosofis dan teologis dari Agustinus yang berdampak besar pada ajaran Gereja. Pengaruh Agustinus terhadap Aquinas disebut sebagai Agustinianisme Aquinas yang dilatarbelakangi pemikiran Aristoteles. Salah satu warisan teologis Agustinus yang dikembangkan Aquinas ialah ajaran tentang Sabda yang merupakan Pribadi Ilahi kedua dalam Trinitas. Meski penuh kontroversi, Aquinas tetap menggunakan epistemologi Aristoteles sebagai kacamata untuk membaca ajaran Augustinus dan membuat sintesis teologis yang khas dan determinatif. Artikel ini mencoba menunjukkan seberapa jauh dan seberapa baik Aquinas mengembangkan konsep tentang kata atau sabda, baik secara teologis maupun filosofis.
Perspektif teologis mewarnai artikel kedua yang ditulis Abdon Bisei yang berefleksi tentang mitos dalam gerakan kargo di Melanesia. Bisei menyatakan, gerakan kargo di Melanesia yang bersumber pada mitos masyarakat bermakna religius karena di dalamnya bisa ditemukan bentuk komunikasi Allah dengan manusia. Karena itu, gerakan kargo bukan sekedar gerakan sosial kemasyarakatan biasa melainkan gerakan yang mengungkapkan iman orang Melanesia. Melalui mitos-mitosnya, orang Melanesia menghayati perjumpaan manusia dengan Yang Ilahi, sebagaimana perjumpaan umat kritiani dengan Allah.
Di artikel ketiga, David Dapi menyajikan tulisan berlatar Kitab Suci Perjanjian Lama tentang kesetiaan Tuhan dan pemberontakan Israel di padang gurun. Dapi menjelaskan bahwa pada umumnya orang mempunyai perspektif negatif bila mendengar kata padang gurun. Padang gurun dilihat sebagai tempat kering, gersang, tandus, dan menakutkan karena merupakan wilayah yang tak berkehidupan. Namun dalam Pentateukh, khususnya kitab Keluaran dan Ulangan, dikisahkan bahwa padang gurun dipilih Tuhan untuk bangsa Israel mengembara selama kurang lebih empat puluh tahun sebelum memasuki Tanah terjanji. Dalam situasi sulit itu, bangsa Israel berjuang bertahan hidup, dan pada saat-saat tertentu mereka memberontak melawan Tuhan melalui penyembahan berhala dan berkeluh-kesah tentang kekurangan makanan serta minuman. Pemberontakan itu menunjukkan ketidaksetiaan bangsa Israel pada Tuhan, namun Tuhan yang membawa mereka keluar dari Mesir dan tetap setia dan memimpin mereka ke Tanah Terjanji. Pada titik ini dapat dikatakan bahwa padang gurun menjadi sekolah iman bagi bangsa Israel.
Pada artikel keempat, Athanasius Bame mengajak pembaca merenungkan komitmen pendidik Katolik. Bame mengatakan bahwa komitmen merupakan hal penting di semua sistem sosial, termasuk di dunia pendidikan. Komitmen para pendidik dalam Gereja Katolik terlihat dari keterikatannya dengan sekolah, siswa, profesi, pengajaran, dan hal-hal lain dalam lingkungan sekolahnya. Keberhasilan anak didik merupakan indikator untuk memahami motivasi para pendidik yang berkualitas, yang mampu beradaptasi, terampil, selalu hadir, dan mempengaruhi sikap serta cara belajar para murid. Menjadi pendidik Katolik merupakan panggilan pelayanan dan medan kesaksian iman; bukan sekedar profesi. Motivasi dan komitmen merupakan elemen intrinsik dalam diri pendidik Katolik.
Ignasius Ngari -di artikel terakhir edisi ini- mengajak kita memahami hubungan antara gagasan Gereja Sinodal dan pendidikan di STFT Fajar Timur. Menurut Ngari, pendidikan di STFT Fajar Timur secara historis dikembangkan dalam kaitan erat dengan paham Gereja Sinodal, yakni kemitraan, partisipasi, dan missi. Dinamika pendidikannya memperlihatkan Gereja yang berjalan bersama dengan Gereja universal, Gereja lokal, masyarakat setempat, negara, dan semua orang. Namun menurut Ngari, ada elemen Gereja sinodal yang hilang dari lingkungan belajar di STFT Fajar Timur, seperti kebersamaan antara laki-laki dan perempuan serta antara pelayan umat yang awam dan para calon imam. Lingkungan belajar yang mewujudkan ciri Gereja sinodal itu penting untuk mengembangkan suasana pendidikan dialogis, sikap saling percaya, demi hadirnya pribadi yang teruji dan sadar diri sebagai bagian dari warga masyarakat global.

Published: 2024-01-08